Kondisi Perekonomian Indonesia pada Pemerintahan Jokowi-JK sampai saat ini (Jokowi-Ma'ruf Amin)


Pada masa pemerintahannya, Jokowi-JK berusaha menciptakan pembangunan ekonomi berkeadilan, ekonomi yang mandiri, pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM).
Kondisi perekonomian Indonesia selama pemerintahan Jokowi-JK :
1.      Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di sekitar 5 persen selama 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK. Sentimen global dan internal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski demikian, Indonesia mampu stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Mengutip data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,02 persen pada 2014. Selanjutnya pertembuhan tersebut turun menjadi 4,88 persen pada 2015. Angka tersebut meleset dari asumsi makro dalam APBN 2015 sekitar 5,8 persen.
Pada tahun 2016, pemerintah pun mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,03 persen. Pertumbuhan ekoomi tersebut juga di bawah target dalam APBN 2016 sebesar 5,2 persen.
Pada tahun 2017, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,07 persen. Angka tersebut meleset dari target APBN 2018 sebesar 5,4 persen.
Pemerintah menyatakan, tekanan makro ekonomi global turut pengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kalau dilihat dari 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 termasuk yang tertinggi.
Bila dibandingkan negara-negara G20, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang tinggi di kisaran 5 persen. China dan India masih membukukan pertumbuhan ekonomi di atas Indonesia. China mencatat ekonomi tumbuh 6,4 persen dan India sekitar 7,1 persen.
2.      Inflasi
Selama 4 tahun pemerintahan Jokowi-Jk, inflasi cenderung stabil dan terkendali. Hal ini lantaran inflasi Indonesia berada di bawah 5 persen.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), pada 2014, inflasi tercatat  8,36 persen. Pada tahun 2015, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya mampu menekan inflasi menjadi 3,35 persen. Kemudian kembali turun menjadi 3,02 persen pada 2016. Akan tetapi, inflasi kembali naik menjadi 3,61 persen pada 2017.
Inflasi sepanjang 2017 merupakan yang tertinggi pada masa pemerintahan Jokowi-JK.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan, penyebab inflasi 2017 didorong kenaikan tarif listrik yang menyumbang 0,81 persen. Lalu pada 2018, pemerintah mampu menekan inflasi menjadi 3,13 persen.
3.      Data neraca perdagangan
·         2014
Ekspor : USD 176,29 M
Impor  : USD 178,18 M
Defisit  : USD 1,89 M
·         2015
Ekspor             : USD 150,3 M
Impor              : USD 142,7 M
Surplus            : USD 7,52M
·         2016
Expor               : USD 144,43 M
Impor              : USD 135,6 M
Surplus            : USD 8,78 M
·         2017
Expor               : USD 168,73 M
Impor              : USD 156,8 M
Surplus            : USD 11,84 M
·         2018
Expor   : USD 180,06 M
Impor  : USD 188,63 M
Defisit  : USD 8,57
4.      Neraca transaksi berjalan
Mengutip data Bank Indonesia (BI),pada 2014,  defisit transaksi berjalan mencapai 2,95 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2014. Kemudian defisit tertekan menjadi 2,06 persen pada 2015.
Selanjutnya defisit transaksi berjalan turun menjadi 1,8 persen terhadap PDB pada tahun 2016. Lalu defisit transaksi berjalan susut menjadi 1,7 persen dari PDB pada 2017. Defisit transaksi berjalan makin melebar menjadi 2,98 persen terhadap PDB pada 2018.

Kondisi Perekonomian Indonesia Saat Ini
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia di kuartal I-2020 hanya mampu tumbuh sebesar 2,97 persen (year on year).
Tingkat pertumbuhan Indonesia ini masih relatif lebih baik dibandingkan Amerika Serikat (0,3 persen), Korea Selatan (1,3 persen), Euro Area (-3,3 persen), Singapura (-2,2 persen), Tiongkok (-6,8 persen), dan Hong Kong (-8,9 persen). Namun demikian, tingkat pertumbuhan ini masih lebih rendah dibandingkan Vietnam (3,8 persen).
“Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang merosot ke 2,84 persen dan investasi yang hanya tumbuh 1,70 persen. Sementara itu, konsumsi Pemerintah masih tumbuh sebesar 3,74 persen, ekspor tumbuh sebesar 0,24 persen Ketika impor kontraksi sebesar -2,19 persen,” tulis BKF dalam sebuah rilis, Selasa (5/5/2020).
Di sisi lain, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu menyampaikan bahwa kinerja konsumsi yang tajam di kuartal pertama 2020 ini memperkuat urgensi percepatan penyaluran bantuan sosial di kuartal kedua.
Sementara di sisi produksi, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk UMKM menjadi sangat kritikal dan perlu dilaksanakan secepatnya.
“Dengan bantalan pada kedua sisi ini, pemerintah berharap membantu meringankan tekanan terhadap rumah tangga dan pelaku usaha, terutama Ultra Mikro dan UMKM,” ungkap Febrio.
Adapun penjabarannya, konsumsi rumah tangga mengalami kemerosotan yang disebabkan oleh Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Peningkatan konsumsi kesehatan, pendidikan, perumahan, serta perlengkapan rumah tangga, ternyata tidak mampu mengimbangi penurunan konsumsi pakaian, alas kaki, jasa perawatan serta transportasi dan komunikasi.
Dalam kondisi pembatasan aktivitas, masyarakat mengurangi konsumsi barang-barang kebutuhan nonpokok. Sinyal pelemahan konsumsi ini juga terlihat pada menurunnya indeks keyakinan konsumen dan penjualan eceran pada Maret 2020 sebesar -5,4 persen.


Sumber :

Komentar

Postingan Populer